Selasa, 23 Februari 2010

Perlunya Perpustakaan yang Baik

Perlunya Perpustakaan yang Baik

2009-10-18 20:26:30Posted by admin

thumbnail

Judul diatas sengaja saya ambil sebagai bentuk ”reaksi” dan ”keprihatinan” terhadap image perpustakaan di masyarakat sekitar kita. Pengalaman memberikan beberapa pelatihan perpustakaan memberikan sebuah penemuan yang cukup memprihatinkan bagi saya. Ternyata kenyataan di masyarakat terutama di lingkungan pendidikan, perpustakaan belum menjadi bagian penting yang harus ada dan perlu mendapatkan porsi perhatian yang signifikan. Contoh, di beberapa sekolah yang pernah saya kunjungi dan juga saya memberikan pelatihan tentang perpustakaan kepada staf atau guru, ternyata hampir 95% mengatakan bahwa perpustakaan ”tidak” mendapat perhatian, tidak ada anggaran dana, tidak mempunyai ruangan, tidak ada koleksi, bahkan tidak termasuk dalam rencana anggaran dan pengembangan sekolah. Sungguh, bahwa slogan perpustakaan sebagai jantungnya sekolah (atau perguruan tinggi dalam level di atasnya), benar-benar hanya merupakan slogan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa kepala sekolah lah yang menentukan apakah perpustakaan itu perlu atau tidak. Dan hampir 95% mengatakan bahwa perpustakaan bukan unsur penting. Bahkan di sebuah sekolah, ada seorang kepala sekolah yang mengatakan “walah mas, untuk ngurusin kelas dan pelajaran aja udah enggak ada waktu, boro-boro ngurusin perpustakaan”. Kasus lain banyak buku-buku yang seharusnya untuk keperluan bacaan anak di perpustakaan hanya menumpuk saja di gudang atau ruang PKS atau ruang lain yang sempit dan tidak mungkin diakses oleh siswa. Hal lain adalah terbatasnya tenaga yang menjadikan alasan, sehingga pengelolaan perpustakaan hanya menjadi kerjaan sampingan atau cukup diserahkan kepada staf TU atau bahkan tukang kebon sekolah. Sungguh ini merupakan bentuk dari ketidakberdayaan perpustakaan menjadi perhatian dan bagian penting masyarakat. Saya hanya berharap mudah-mudahan UU No. 43 tahun 2007 tentang perpustakaan akan membawa perbaikan bagi kondisi semacam ini. Paling tidak, ada alasan bagi masyarakat untuk menuntut terselenggaranya perpustakaan di sekolah dengan baik. nKondisi yang sama sebetulnya ditunjukkan oleh perpustakaan-perpustakaan di bawah perguruan tinggi. Saya sendiri pernah bekerja di perpustakaan perguruan tinggi yang kebetulan dari pihak pimpinan dari awal hingga saat ini sangat konsen dan perhatian terhadap perpustakaan. Sehingga dapat dilihat bahwa perpustakaan mendapat porsi yang penting dalam pengembangan pendidikan di tempat itu. Bahkan sekarang menempati gedung 2 lantai yang mempunyai berbagai macam fasilitas untuk pengguna seperti ruang baca luas, ruang audiovisual/multimedia, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, auditorium, ruang pelayanan dan tentu ruang administratif yang representatif. Sayang tidak banyak perpustakaan seperti itu dan mendapat porsi perhatian yang begitu besar dari para pengambil kebijakan. Bahkan dari beberapa perpustakaan yang ada banyak sekali terlihat bahwa slogan perpustakaan sebagai jantung perguruan tinggi hanya sebatas slogan. Anggaran untuk perpustakaan tidak lebih dari 2,5%, masih jauh dari ketentuan 5% dalam UU perpustakaan, perpustakaan masih dianggap sebagai tempat orang buangan sehingga orang2 yang ditempatkan disitu adalah orang-orang yang bermasalah. Bahkan baru-baru ini saya mendengar ada sebuah kebijakan di sebuah perguruan tinggi negeri yang mengatakan bahwa tenaga perpustakaan tidak perlu mempunyai pendidikan tinggi-tinggi, buat apa S1 atau S2, toh kerjaaya adalah kerjaan administratif. Sungguh memuakkan!! Orang-orang yang mestinya cerdas dan pintar dalam lingkungan pendidikan ternyata pandangan2nya sangat picik! Saya hanya berdoa semoga mereka segera diberi kemudahan untuk menuju ke jalan yang BENAR! :) ) ya pendek kata, ternyata sampai saat ini perpustakaan masih belum menjadi bagian penting dari proses pendidikan di masyarakat kita, ini terbukti dengan masih minimnya perhatian terhadap pengembangan perpustakaan. Apalagi masih ada kesan bahwa tenaga perpustakaan (dan atau pustakawan) tidak perlu orang yang punya keahlian khusus, karena ya intinya cuman ”jaga” buku. DUH! sedihnyaaaa…. Perpustakaan masih benar-benar terpinggirkan, orang masih lebih penting untuk membangun gedung, membangun taman yang indah, makan-makan, menganggarkan untuk main golf, daripada membangun perpustakaan yang representatif. Sekali lagi, semoga TUHAN memberikan jalan yang LURUS bagi mereka-mereka yang masih meminggirkan perpustakaan.

Salam Perjuangan

Arif Surachman (http://202.43.170.94/elibrary/pustekfunghan/welcome/detil/21)

Analisis : Buku sebagai gudang ilmu

Analisis : Buku sebagai gudang ilmu

2009-10-18 19:53:58Posted by admin

thumbnailPENEGASAN itu jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 ayat 5. Begitu pentingnya membaca sehingga leluhur bangsa Indonesia menciptakan ungkapan 'membaca adalah kunci ilmu', sedangkan 'gudangnya ilmu adalah buku'.

Lalu bagaimana kondisi dunia baca di Indonesia? Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003 dapat dijadikan gambaran bagaimana minat baca bangsa Indonesia. Data itu menggambarkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan, yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44,28%, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.

Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton televisi dan atau mendengarkan radio. Malahan, kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak 1993. Hanya naik sekitar 0,2%. Jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan persentasenya mencapai 21,1%.

Data 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5% dari total penduduk. Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9% dan mendengarkan radio sebesar 40,3%.

Angka-angka tersebut menggambarkan bahwa minat penduduk Indonesia masih rendah. Padahal, untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai sejak anak-anak. Namun, saat ini pun kondisi kemampuan membaca (reading literacy) anak Indonesia masih rendah. Tidak perlu membandingkan dengan negara yang sudah maju, dengan sesama negara berkembang lainnya pun kemampuan membaca anak-anak Indonesia masih rendah.

Data lain juga menunjukkan hal yang sama. Pada 1992, International Association for Evaluation of Educational (IEA) melakukan studi kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV di 30 negara dunia. Kesimpulan dari studi tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29! Hanya setingkat di atas Venezuela.

Lalu, dalam laporan World Bank dalam sebuah laporan pendidikan Education in Indonesia from Cricis to Recovery menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI sekolah dasar di Indonesia masih di bawah negara Asia lainnya. Laporan tersebut mengutip hasil Vincent Greannary pada 1998 yang menunjukkan Indonesia hanya mampu meraih nilai 51,7. Sedangkan, negara Asia lainnya yang juga menjadi objek studi, seperti Filipina memperoleh nilai 52,6, Thailand 65,1, Singapura 74,0 dan Hong Kong 75,5.

Buruknya kemampuan membaca anak-anak Indonesia berdampak pada penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 terhadap para siswa kelas II SLTP 50 negara di dunia, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia berada di peringkat ke-34 dalam kemampuan bidang matematika. Siswa Indonesia hanya diberi nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan, hasil tes bidang ilmu pengetahuan hanya mampu menduduki peringkat ke-36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasional 474.

Perpustakaan dan buku

Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah adalah sarana dan prasarana khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas. Sedangkan, kegiatan membaca membutuhkan buku-buku yang memadai dan bermutu serta ditunjang eksistensi perpustakaan.

Perpustakaan merupakan sarana dan sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli peminatnya masing-masing. Ketersediaan beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya.

Kalau warga masyarakat menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihannya, akhirnya merata pula peningkatan taraf kecerdasan mereka. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh meningkatnya taraf kecerdasan warganya. Oleh karena itu, kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan kemasyarakatan niscaya turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan.

Perpustakaan juga harus bisa diandalkan untuk menyediakan buku-buku bermutu. Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, tata letak, atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat 'merangsang berahi membaca' orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat serta harganya terjangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya, akan tercipta sebuah kondisi masyarakat konsumen membaca yang akan mengonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.

Namun, jumlah perpustakaan di Indonesia masih amat kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa. Alfons Taryadi dalam bukunya, Buku dalam Indonesia Baru, terbitan Yayasan Obor Indonesia pada 1999 menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat satu perpustakaan nasional, 117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus. Sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Bila dirasiokan, perpustakaan umum yang ada harus sanggup untuk melayani 85 ribu penduduk.

Kondisi perpustakaan di hampir semua sekolah masih belum memenuhi standar. Perpustakaan belum sepenuhnya berfungsi di sana. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan sumber belajar yang sangat vital bagi muridnya.

Perluasan jangkauan layanan perpustakaan, baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.

Perpustakaan bergilir

Saat ini Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Perpustakaan Nasional RI sedang menyusun rancangan besar minat baca dan menuju budaya baca. IKAPI juga berencana menggulirkan satu sistem yang dinamakan perpustakaan bergilir.

''Perpustakaan bergilir adalah satu konsep bahwa judul buku di satu kelurahan itu berbeda untuk setiap RT (rukun tetangga). Jadi, setiap dua bulan akan berputar ke RT lain dengan judul yang lain,'' ujar Ketua IKAPI Setia Dharma Madjid.

Pertumbuhan industri percetakan di Indonesia per tahun nampak berkembang. Saat ini terdapat sebanyak 7.760 industri cetak. Kondisi itu, jika dibandingkan dengan negara lain, masih tertinggal. China punya sedikitnya 90.000 industri cetak, sedangkan di India 45.000 industri.

Sementara itu, ketersediaan buku-buku di Indonesia juga sangat terbatas. Cina dengan penduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul buku baru per tahunnya.

Kepala Pusat Grafika Indonesia Depdiknas Pudjo Sumedi AS mengemukakan, 10.000 terbitan buku itu didominasi buku umum, yakni sebanyak 3.200 judul atau 32%, sedangkan buku pelajaran sebanyak 2.500 judul atau 25%. Sedangkan, buku anak atau remaja sebanyak 1.900 judul (19%), agama 1.800 judul (16%), dan perguruan tinggi 800 judul (8%).

Tingkat pembeliannya pun seret. Sebagai contoh di Malaysia, untuk kategori buku nonfiksi, misalnya, pengalaman penerbit di sana akan menghabiskan waktu 6-12 bulan sekali cetak dengan jumlah 2.000 eksemplar. Bandingkan dengan Indonesia yang menghabiskan waktu hingga tiga tahun. Padahal, populasi penduduk di Malaysia hanya 12% dari penduduk Indonesia. Itulah gambaran dunia baca kita. Masih perlu kerja keras dari semua pihak jika ingin 'buku untuk perubahan'.

Dudi Herlianto/Litbang Media Group

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 6 Oktober 2007 (http://202.43.170.94/elibrary/pustekfunghan/welcome/detil/20)

Minggu, 20 Desember 2009

Kalimat Pembuka

"..Dan Allah SWT meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat .." (Al Qur'an). Inilah di antara sekian banyak dalil sebagai suatu bentuk penghargaan bagi orang-orang yang berilmu di dalam Islam. Termasuk, sabda Rasulullah Muhammad SAW, "Barangsiapa menghendaki dunia harus dengan ilmu, barangsiapa menghendaki akhirat harus dengan ilmu, dan barangsiapa menghendaki keduanya (dunia + akhirat) harus dengan ilmu" (Al Hadits).
Singkat kata, ternyata ilmu-ilmu itu, hampir seluruhnya atau sebagian besar ditulis dalam karya tulis berbentuk buku. Sehingga pada masa kejayaan Islam, seseorang yang berhasil membuat suatu karya tulis berupa buku, maka buku / kitab tersebut akan ditimbang lalu diberikan penghargaan emas seberat timbangan buku yang dihasilkannya. Subhanallah !
Berbeda dengan kondisi saat ini.
Walaupun demikian, dalam perkembangannya, produksi buku terus mengalami peningkatan. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa untuk menilai kemajuan suatu negeri bisa dilihat dari kuantitas (dan tentu saja kualitas) buku baru yang dihasilkannya dalam setahun. Tentu saja hasil produksi buku tersebut dinikmati oleh konsumen, sehingga akhirnya menjadi koleksi perpustakaan baik milik pribadi maupun lembaga. Untuk itulah, jasa olah data buku perpustakaan ini hadir ke hadapan konsumen buku, dengan dukungan software yang cukup mudah dan praktis digunakan, serta mampu menampung kuantitas buku yang hampir tidak terbatas, sesuai spesifikasi atau lokasi buku di masing-masing rak misalnya. Karenanya, sangat perlu koleksi buku-buku anda untuk mulai di'database'kan sekarang !
Hubungi kami di 081 227 10063 atau e-mail ke labibah_nur@yahoo.co.id (Ahmad Wahyudi, S.Si.). Buku-buku anda kami jemput, entry plus pasang label kode buku di rak, lalu bayar jasanya tiap 100 judul/expl. sebesar Rp 5.000,- per judulnya.